Secara pribadi saya memiliki beberapa alasan untuk melakukannya. Meski begitu alasan-alasan ini saya usahakan agar bisa dipertanggungjawabkan secara argumentatif, sehingga tidak berhenti sekadar sentimen belaka.
Kemajemukan tradisi Nusantara adalah alasan pertama. Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan bahwa Islam telah menyapa Nusantara jauh sebelum era Wali Songo, namun ajaran ini perlu menunggu kehadiran mereka untuk membuatnya jadi ajaran yang populis. Strategi hibridisasi nilai-nilai Islam dengan budaya setempat yang digagas oleh Wali Songo terbukti hingga saat ini masih menjadi cara yang paling efektif.
Pada awal abad 20, ketika tokoh seperti Soekarno dan Hatta, bahkan Tan Malaka, belum sempat berpikir tentang sebuah entitas bernama Indonesia, KH. Hasyim Asyari dengan sadar sudah memiliki gambaran tentang wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Hal ini bisa dijadikan ilustrasi untuk menakar seberapa besar pengaruh Wali Songo di Nusantara.
Kemajemukan nilai-nilai tradisi ini merupakan sebuah nilai yang disadari. Hal ini membuat setiap pengaruh kebudayaan yang masuk ke Nusantara akan terlebih dahulu mengalami negosiasi dengan tradisi lokal sebelum mendapatkan tempat dengan baik (Masdar F. Masudi, 2009). Kita bisa melihat ini pada semua agama di Nusantara yang selalu memiliki karakteristik khas dibanding bangsa lainnya. Kemajemukan ini bukanlah hal yang mesti dilawan dengan label tahayul, bidah dan khurafat, tapi diposisikan sebagai sebuah karakter yang memiliki hak hidup dan karenanya mesti diapresiasi, bahkan dirayakan.
Alasan kedua, apresiasi terhadap kemajemukan bukanlah suatu hal yang kasuistik, artinya khusus berlaku untuk bangsa yang plural seperti Indonesia saja. Beberapa hari lalu saya mendengarkan sebuah ceramah dari KH. Masdar F. Masudi. Ia mengangkat satu hadis Nabi yang jarang sekali disebut, paling tidak saya baru kali ini mendengarnya. Secara substansial hedis tersebut mengibaratkan nabi-nabi sebelumnya sebagai sebuah bangunan indah namun kekurangan satu bata. Muhammad mengatakan bahwa dirinyalah bata pelengkap tersebut.
Kerendahhatian Nabi kita ini penting. Ia tidak mengatakan bahwa ajarannya adalah bangunan baru yang lebih indah atau lebih baik, ia seolah hendak menampik anggapan bahwa Islam adalah agama totaliter yang hendak memberangus semua agama dan budaya yang mendahuluinya. Hadis ini seperti semacam garansi tanpa kadaluarsa bagi eksistensi budaya-budaya yang eksis sebelum kehadiran Islam, termasuk yang ada di Nusantara
Alasan ketiga, dalam hal kehidupan berpolitik, sebagaimana disebut sebelumnya, pandangan islamisme yang cenderung wahabistik kerapkali menyulut ketegangan antara umat muslim (baca: kelompok wahabi) dengan Negara, terutama yang menganut demokrasi. Hal ini tentu saja berakar dari pandangan ekslusif dan diskriminatif dari kelompok ini. Kita memang tidak bisa membenarkan kebijakan orde baru yang pernah bersikap keras terhadap umat Islam, tapi fakta ini bisa dijadikan contoh betapa ajaran Islam yang dipresentasikan dengan agresif, bahkan sampai menganjurkan perubahan tata kemasyarakatan dan kenegaraan, dipandang oleh pihak lain sebagai ancaman. Bagimanapun kita tidak sudi agama yang kita yakini dipandang miring oleh orang lain
Saya pikir ketiga alasan itu cukup memberi pijakan, paling tidak bagi saya, untuk menimbang kembali pengaruh wahabisme dalam pemahaman keagamaan kita, serta cara kita memandang budaya Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar