Sabtu, 10 Januari 2015

Alasan Mengapa Saya Tidak Memilih Prabowo




Saat Pemilihan Presiden Tahun 2014 lalu, beberapa tokoh sudah memastikan diri sebagai calon, salah satunya adalah Prabowo Subianto. Pada pemilu tahun 2009, Prabowo merupakan pasangan cawapres dari Megawati. Saat itu Gerindra masih merupakan partai kecil dan Prabowo belum sepopuler sekarang. Kini, setelah beberapa tahun, popularitas Prabowo meningkat tajam, beberapa kader Gerindra yang sukses memenangkan pilkada seperti Ahok dan Ridwan Kamil ikut berkontribusi terhadap pamor Prabowo, masyarakat pun banyak menaruh harapan pada beliau.
Pada awalnya saya beranggapan bahwa Prabowo adalah calon presiden yang layak untuk dipilih. Ketika melihat iklannya di media massa, terutama ketika pencalonan Jokowi dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, saya merasa bersemangat dan optimis akan masa depan Indonesia jika dipimpin oleh beliau. Tapi lama-lama, seperti orang yang baru sadar dari hipnotis, saya kemudian mempertanyakan kembali, siapa Prabowo, bagaimana rekam jejaknya, dan benarkah dia layak untuk dipilih? Hingga pada akhirnya saya menemukan beberapa alasan untuk mengatakan TIDAK, saya tidak akan memilih Prabowo.
Perlu dicatat bahwa dalam menilai calon presiden, saya lebih melihat integritas, karakter, dan kapasitas dibanding visi dan misi. Visi dan misi bisa dibuat oleh siapa saja, tapi integritas, karakter, dan kapasitas hanya ada pada masing-masing calon. Nah, berikut adalah beberapa alasan yang membuat saya tidak akan memilih Prabowo dalam pemilu Presiden mendatang:

1. Karakter Prabowo

Karakter adalah salah satu faktor penting dalam menilai pemimpin, terlebih dalam pemilu presiden dimana kita bukan hanya memilih seorang kepala pemerintahan tapi juga kepala negara yang notabene adalah simbol sebuah negara. Sebagai sebuah simbol tentu kita ingin pemimpin dengan karakter yang baik, sesuai dengan nilai moral dan etika yang kita anut.
Harus diakui Prabowo memiliki beberapa karakter baik, diantaranya
  1. Bertanggung Jawab Atas Tindakan BawahanSaya tidak tahu bagaimana kejadian sesungguhnya dari isu keterlibatan Prabowo atas penculikan aktivis di tahun 1997-1998 yang katanya dilakukan oleh Tim Mawar, namun kenyataan bahwa Prabowo menerima pemberhentiannya cukup untuk mengatakan bahwa Prabowo orang yang bertanggung jawab. Selain itu saya juga tidak pernah beliau menyalahkan orang lain apalagi anak buahnya atas kasus apapun.
    Dibandingkan dengan Jokowi yang jarang mengakui suatu kasus sebagai tanggung jawabnya dan lebih sering menyalahkan pihak lain, mulai dari kondisi alam, anak buahnya sendiri, hingga presiden, (yang walaupun esensinya benar) maka Prabowo jelas lebih unggul. Tidak heran ketika anak buah Jokowi banyak yang mengeluh, Prabowo justru punya anak buah yang sangat loyal, bahkan ketika dia sudah tidak berada di militer beliau tetap mendapat dukungan dari mantan-mantan anak buahnya.
  2. Cepat Mengambil KeputusanDisini saya melihat bahwa Prabowo adalah antitesis dari SBY, dimana jika Pak SBY seringkali lambat dalam bertindak dan terlalu banyak hal yang dipikirkan, Prabowo tampil sebagai sosok yang mampu bertindak cepat tanpa harus berpikir panjang. Walau beberapa keputusannya saya anggap terlalu terburu-buru yang berujung pada koreksi dan ralat, namun menurut saya karakter ini dibutuhkan agar bisa cepat memperbaiki kondisi negara.
Walau demikian, ada banyak karakter Prabowo, yang kurang saya sukai yang membuat saya enggan memilih beliau sebagai presiden, diantaranya:

Tahun ini, Prabowo berusia 62 tahun, ini artinya Prabowo tidak cocok dengan kriteria Habibie. Tapi bagi saya, masalahnya bukan hanya pada usia. Lebih dari itu, Prabowo, bersama dengan Wiranto, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Akbar Tandjung adalah golongan tua “lulusan” dari partai Golkar, partainya rezim orde baru yang otoriter, korup, dan penuh dengan kasus pelanggaran HAM. Sebagai lulusan partai beringin, maka pola pikir Prabowo tidak akan jauh dari pola orde baru, karena mereka mendapat didikan dari rezim yang sama dan bergaul dengan orang-orang yang sama (sepemikiran).

Memilih Prabowo sebagai presiden berisiko untuk menghidupkan kembali rezim orde baru, terlebih Prabowo dekat dengan Soeharto (menantunya gitu lho), dan sama-sama berasal dari kalangan militer. Memilih Prabowo sama halnya dengan mengkhianati reformasi yang telah diperjuangkan selama 15 tahun terakhir. Oh dan yang berpikiran seperti ini bukan hanya mereka yang pro Jokowi, yang pro Prabowo pun demikian, buktinya kelompok masyarakat yang rindu akan ore baru yaitu Komunitas Piye Kabare ikut mendukung Prabowo, bahkan ada posternya di jalanan.



6. Dugaan Kasus Pelanggaran HAM

Alasan kuat untuk menolak Prabowo sebagai presiden adalah karena isu keterlibatan beliau terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, mulai dari kasusperang di Timor Timur, Aceh, hingga penculikan aktivis di tahun 1997-1998.
Sebagai orang awam, jujur saya tidak begitu tahu persis bagaimana kasusnya dan apa peran Prabowo dalam kasus tersebut, namun fakta bahwa Prabowo tidak membantah kejadian penculikan aktivis melainkan hanya memberi klarifikasi yang ngambang, fakta bahwa beliau diberhentikan dari jabatannya yang menurut pengakuan Wiranto hal itu memang dikarenakan kasus penculikan aktivis yang ditambah dengan bocornya surat rekomendasi pemberhentian dari Dewan Kehormatan Perwira, membuat kecurigaan saya semakin besar terhadap Prabowo.
Saya tidak berani mengambil risiko untuk memilih presiden yang punya dugaan kuat terlibat kejahatan HAM. Memilih Prabowo akan membuat saya merasa bersalah kepada keluarga korban yang telah berjuang merebut reformasi dan malu pada negara lain karena memiliki presiden dengan rekan jejak kasus berdarah. Selain itu ketertutupan (baca: ketidakjelasan) akan kasus ini bisa membuat Prabowo menjadi tersandera pada masa lalu, dimana situasi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengintervensi pemerintahan.
7. Masih Memiliki Hutang
Prabowo seperti halnya Aburuzal Bakrie, adalah calon presiden yang perusahaannya memiliki cukup banyak. Perusahaan Prabowo yang berhutang itu adalah PT Kertas Nusantara (ebelumnya bernama PT Kiani Kertas), dimana berdasarkan verifikasi kurator kepailitan dan pengurus PKPU, total utang Kertas Nusantara mencapai Rp 14,31 triliun. Masalah hutang ini lah yang kemudian membuat PT Kertas Nusantara menunda pembayaran gaji pegawainya hingga 5 bulan.
Uang sebanyak 14,31 triliun bukanlah nilai yang kecil. Bagaimana kita bisa yakin bahwa nanti Prabowo tidak akan menyalahgunakan wewenangnya jika terpilih sebagai presiden untuk membayar hutang-hutang perusahaannya itu? Saya bukan orang gila yang berani mengambil risiko itu, masih ada banyak calon presiden yang tidak bermasalah yang lebih layak untuk dipercaya.
UPDATE:
Oops, ternyata menurut data yang dirilis KPK ternyata semua capres punya hutang.(ternyata semua doyan ngredit), dan Jokowi adalah calon presiden dengan hutang pribadi paling banyak. Tapi poin ini tetap saya pertahankan, mengingat hutang perusahaan (bukan hutang pribadi) yang nilainya 14,31 triliun itu jumlahnya besar sekali.

8. Bermasalah Dengan Negara Lain

Karena dugaan kasus pelanggaran HAM yang dilakukannya, Prabowo pernah dicekal oleh Amerika, dan beberapa negara lain pun menaruh stigma buruk pada beliau. Bagian lucunya adalah Prabowo kemudian melakukan pembelaan diri dengan menyamakan pencekalan dirinya dengan pencekalan Nelson Mandela.
Memang tidak semua tokoh yang dicekal oleh Amerika adalah penjahat, beberapa diantaranya adalah Nelson Mandela dan Yasser Arafat, tapi Prabowo jelas tidak bisa disamakan dengan kedua tokoh tersebut yang mendapat banyak dukungan dari negara lain, bahkan PBB sempat memindahkan rapat pembahasan mengenai Palestina dari sebelumnya di Amerika menjadi di Swiss agar Yasser bisa ikut serta. Dalam kasus Prabowo tidak ada cerita heroik yang bisa dibanggakan, dia dicekal bukan karena alasan politis melainkan karena kejahatan HAM.
Saya tidak mau nantinya presiden yang terpilih tidak bisa mengikuti rapat PBB karena ditolak oleh negara lain, saya akan malu jika punya presiden yang dicekal di banyak negara. Bukannya semakin terbuka dengan pergaulan internasional, keterpilihan Prabowo sebagai presiden justru bisa membuat Indonesia semakin dikucilkan di dunia internasional.

9. Black Campaign, Survei Bayaran, dan Pembohongan Publik

Belakangan Prabowo seringkali melakukan kampanye hitam terutama menyerang Jokowi, maklum saja karena Jokowi adalah satu-satunya calon yang elektabilitasnya melebihi Prabowo dalam berbagai survei. Kampanye hitam berupa kritik masih saya anggap wajar, tapi lama-lama apa yang dilakukan Prabowo nampak agak keterlaluan, mengatakan calon presiden lain sebagai boneka lah, mengatakan penipu lah, dimana pernyataan itu tidak sepantasnya dikeluarkan oleh seorang negarawan, karena kesannya sangat emosional dan berdasarkan asumsi saja. Pernyataan itu seperti anak kecil yang saling ejek-ejekan denga kawan bermainnya. Prabowo harusnya bisa lebih dewasa, lebih mengutamakan penyampaian visi misi dan keberhasilan yang sudah dilakukan ketimbang menyerang calon lain yang bahkan jauh lebih muda dari dirinya.
Selain kampanye hitam yang kekanak-kanakan, hal lain yang membuat saya kesal adalah beberapa pembohongan publik yang dilakukan pendukung Prabowo baik di media massa maupun sosial media yang seakan-akan ingin membodohi masyarakat. Pembohongan yang saya maksud bisa berupa informasi dan data yang tidak benar terutama mengenai survei, atau informasi berupa propaganda.
Salah satu survei yang saya curigai adalah survei yang dilakukan oleh Vox Populi Surveydimana disana dikatakan bahwa elektabilitas Prabowo adalah yang paling tinggi, lebih tinggi dibanding elektabilitas Jokowi yang selama ini dalam survei lain selalu diunggulkan. Survei tersebut katanya menggunakan 4000 responsen secara nasional dengan hasil elekbailitas Prabowo adalah 33,1%, Megawati 15,4%, sedangkan Jokowi hanya 10,2%
Bagian lucunya adalah, bahwa survei ini tidak dilakukan dengan langsung menanyakan responden siapa calon yang bakal mereka pilih saat pilpres mendatang, melainkan menanyakan kriteria presiden idaman mereka, yang nantinya oleh pihak yang melakukan survei (Vox Populi) yang mengasosiasikan kriteria tersebut pada calon presiden yang ada di daftar mereka. Hal tersebut nampak dari dua kutipan berikut:
“Kami juga menanyakan kriteria presiden ideal pilihan rakyat. Hasilnya sebesar 45,9 persen akan memilih capres yang berlatarbelakang militer. Sisanya, sebesar 41,3 persen memilih sipil, dan yang belum memberikan jawaban adalah 10,3 persen, …”
“… hasil survei juga mendapat temuan bahwa saat ini rakyat menginginkan suatu perubahan besar terhadap pengelolaan pemerintahan yang selama ini sangat korup, lemah serta tidak punya rasa percaya diri dan selalu dilecehkan oleh negara tetangga. Mereka yang berpendapat seperti itu memberikan kontribusi elektabilitas terhadap Prabowo paling tinggi yaitu 33,1 persen.”
Jadi responden akan ditanya, apakah mereka lebih suka dipimpin oleh presiden dari kalangan militer atau tidak, jika 70% diantara responden mengatakan iya, maka oleh pihak Vox Populi akan mengatakan bahwa 70% responden lebih suka memilih Prabowo ketimbang Megawati dan Jokowi yang dari kalangan sipil. Hal ini juga berlaku untuk kriteria lain.
Masalahnya adalah:
  1. Responden belum tentu tahu kriteria yang melekat pada pasangan calon yang akan mereka pilih. Maksudnya responden belum tentu tahu apakah Prabowo itu berasal dari kalangan militer atau dari kalangan petani (mengingat dia adalah ketua HKTI), responden belum tahu tahu apakah apakah Prabowo itu orangnya tegas atau tidak. Ini kan seperti menanyakan apakah responden lebih suka presiden yang makan Indomie atau Mie Sedaap, sedang mereka belum tahu tahu mie instant favorit para calon presiden itu.
  2. Satu kriteria mewakili banyak orang, sedang yang dipilih dalam pemilu presiden hanya satu. Anggaplah responden tahu bahwa Prabowo memang dari kalangan militer, tapi ketika mereka mengatakan lebih suka calon presiden dari kalangan militer belum tentu yang mereka maksud itu adalah Prabowo, biasa saja calon yang dimaksud adalah Wiranto atau Sutiyoso.
  3. Pihak Vox Populi bisa seenaknya mengasosiasikan tiap kriteria yang belum tentu sesuai dengan persepsi responden. Contoh, ketika ditanya apakah responden lebih suka calon presiden yang anti kepentingan asing, tentu saja mayoritas akan mengatakan iya, dan pihak Vox Populi bisa seenaknya mengatakan bahwa Prabowo lah yang sesuai dengan kriteria tersebut sedang Megawati adalah calon yang dianggap tunduk pada kepentingan asing, padahal responden belum tentu setuju dengan hal tersebut. Responden tentu punya pandangan tersendiri tentang siapa calon yang mereka anggap tegas, maka yang nasionalis, mana yang anti korupsi, dll dimana pandangan itu berbeda dengan pandangan pihak Vox Populi selaku penyelenggara survei.
Dari 3 poin tersebut, maka kita bisa mengatakan bahwa metode survei yang dilakukan Vox Populi tersebut dalam menilai elektabilitas calon presiden bisa dikatakan tidak valid. Survei yang sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah, cukup dengan menanyakan siapa calon yang akan dipilih pada pilpres mendatang, sengaja dibuat ribet dan berputar-putar, yang menunjukkan ada kepentingan politik di dalamnya. Jelas ini survei abal-abal yang kemungkinan besar adalah pesanan pihak Prabowo saja untuk melakukan penipuan publik.
Penipuan publik lain yang dilakukan pihak Prabowo adalah tentang cerita Perjanjian Batu Tulis, dimana dalam perjanjian itu ada kesepakatan bahwa Megawati akan mendukung Prabowo dalam pemilu presiden 2014.
Poin ke 7:
Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.”
Jika membaca keseluruhan poin dari perjanjian tersebut, siapapun sebenarnya tahu bahwa maksud dari poin ke 7 dari perjanjian itu adalah sebagai bentuk kesepakatan dan balas jasa Megawati jika dia berhasil terpilih sebagai presiden, sama halnya seperti pada poin 2-4. Artinya perjanjian itu berlaku jika pasangan tersebut menang, dan karena mereka kalah maka poin ke 7 dari perjanjian tersebut pun otomatis tidak berlaku lagi. Tapi pihak Prabowo kemudian berusaha berdalih bahwa tidak ada ketentuan atau syarat secara tertulis bahwa poin ke 7 itu hanya berlaku jika mereka menang. Pihak Prabowo berusaha menggunakan pendekatan semantik yang kaku, dan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa pihak PDIP telah melanggar perjanjian. Bagi saya ini adalah bentuk pembohongan dan pembodohan publik.
Oke, secara semantik memang tidak ada syarat bahwa poin ke 7 itu hanya berlaku jika pasangan Megawati-Prabowo menang pada pemilu 2009, tapi pihak Prabowo juga lupa bahwa dengan semantik yang kaku kita bisa menafsirkan bahwa:
  1. Pihak yang menyatakan dukungan pada Prabowo adalah Megawati, bukan PDIP. Artinya Megawati boleh saja mendukung Prabowo tapi PDIP tetap boleh punya pilihan calonnya sendiri, seperti halnya Khrisna yang membawa Pandawa sedang pasukan kerajaannya diminta membela Kurawa.
  2. Kalimat “… mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden …”bermakna bahwa dukungan Megawati hanya sebatas dukungan kepada Prabowo dari yang sebelumnya bukan calon presiden menjadi calon presiden, bukan mendukung Prabowo dari sebelumnya adalah calon presiden menjadi presiden Indonesia untuk periode 2014-2019.
  3. Jika Prabowo ngeles dalam perjanjian ini tidak ada ketentuan, maka pihak Megawati juga bisa ngeles bahwa perjanjian tidak memiliki klausul yang jelas. Tidak ada penjelasan bagaimana seharusnya dukungan yang harus diberikan oleh Megawati kepada Prabowo, mengatakan kata “cemunguth..!!” juga bisa masuk kategori mendukung, tapi jelas kata itu tidak ada gunanya sama sekali dalam perpolitikan.
Dari ketiga poin itu maka kita bisa tahu bahwa penalaran semantik yang kaku juga tidak bisa digunakan oleh pihak Prabowo untuk meminta dukungan politik kepada PDIP maupun Megawati, juga tidak bisa digunakan untuk mengklaim bahwa dirinya adalah korban penipuan. Tapi pihak Prabowo dan fansnya tetap saja pura-pura bodoh, mengabaikan poin ini, sembari terus saja merengek meminta simpati dari masyarakat.
Terakhir, penipuan dan pembodohan publik yang berusaha dilakukan pendukung Prabowo adalah dengan berusaha mengubah halaman Wikipedia yang memuat artikel tentang kontrovensi kejahatan Prabowo. Pada link berikut bisa dilihat bagian artikel mana yang berusaha dihapus. Bagi saya apa yang dilakukan pendukung Prabowo ini sangat licik dan sudah keterlaluan, mereka bukannya meminta Prabowo melakukan klarifikasi atas tulisan di Wikipedia tapi lebih memilih untuk menutupinya dari publik.

10. Saya Memilih Bukan Berdasarkan        Asumsi

Ketika saya bertanya pada para pendukung Prabowo mengenai alasan dukungan mereka setelah saya berhasil menunjukkan bahwa Prabowo tidak begitu berprestasi, umumnya mereka memberikan jawaban berupa asumsi, seperti mengatakan bahwa Prabowo itu tegas, pemberani, nasionalis, anti kepentingan asing, dan yang lain ada yang mengatakan karena Prabowo itu gagah dan tampan.
Dari jawaban ini saya kemudian paham kenapa banyak masyarakat mendukung Prabowo. Masyarakat selama ini kesal atas kepemimpinan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang terkesan loyo dan lambat mengambil tindakan, ditambah dengan ketidaktegasan kedua pemimpin tersebut menyikapi isu konflik perebutan pulau dan kebudayaan dengan Malaysia, membuat masyarakat berharap banyak pada pemimpin yang berkesan gagah, galak, dan berasal dari kalangan militer.
Oke, sebagai orang jelek saya tidak akan membantah bahwa Prabowo itu tampan dan gagah, apalagi setelah melihat fotonya saat masih muda, wajar saja anaknya Presiden Soeharto (Siti Hediati Hariyadi) sampai kepincut. Tapi soal berani dan tegas, benarkah itu?
Jika Prabowo memang berani, lantas kenapa dia mengaku melakukan penculikan aktivis karena terpaksa? Memangnya dia tidak berani menolak perintah Soeharto? Jika Prabowo memang berani, mengapa beliau sempat meninggalkan Indonesia dan memilih bersembunyi di Yordania? Jika menentang perintah atasan saja tidak bisa, bagaimana bisa dikatakan berani menentang negara superior seperti Amerika?
Prabowo tegas? Perhatikan kasus ketika beliau mendukung rencana Mendagri Gamawan Fauzi untuk bekerjasama dengan FPI yang katanya adalah aset bangsa dengan mengatakan bahwa FPI itu memang perlu dirangkul, tapi ketika pernyataan Prabowo itu banyak menuai protes oleh pendukungnya Prabowo buru-buru mengklarifikasi bahwa beliau siap menghadapi siapapun yang mengancam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pernyataan Prabowo itu berkesan bermuka dua, yang satu seakan menerima FPI dan mencari dukungan dari golongan Islam Fanatik Agak Radikal, yang satu lagi seakan memberi harapan pada kaum Nasionalis Pluralis yang selama ini kesal dengan ketimpangan toleransi beragama di Indonesia. Statement bermuka dua ini jelas menunjukkan bahwa Prabowo ingin mencari dukungan dari kedua belah pihak, yang sayangnya sekaligus menunjukkan bahwa beliau bukan orang yang tegas mengambil tindakan. Seharusnya beliau berani mengatakan apakah FPI itu memang bertentangan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika atau tidak, nanti jika terpilih sebagai Presiden organisasi itu akan dibiarkan atau dibubarkan, bukannnya mengatakan jika ini jika itu. Konteks FPI bukan “JIKA” lagi, karena kejadiannya melibatkan FPI sudah berlangsung sehingga sudah dapat dinilai dan disikapi.
Dari kasus-kasus tersebut maka saya mengatakan bahwa kita tidak bisa memastikan bahwa sosok Prabowo itu memang tegas, berani, nasionalis, dll seperti asumsi kita selama ini. Pemilih yang baik seharusnya menilai calon berdasarkan track recordnya selama ini, apa kemampuan dan pengalaman calon tersebut dan apa yang sudah dilakukan calon tersebut pada Indonesia.


http://candrawiguna.com/alasan-mengapa-saya-tidak-memilih-prabowo/

1 komentar: